Kumis adalah rambut yang tumbuh di atas bibir bagian atas. Telah
datang perintah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
memotong kumis dan tidak membiarkannya terus tumbuh hingga menutupi
kedua bibir. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma menyampaikan dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَحْفُوا الشَّوَارِبَ
وَأَعْفُوا اللِّحَى
“Potonglah kumis dan biarkanlah jenggot (sebagaimana adanya tanpa dikurangi dan dipotong).” (HR. Muslim no. 599)
Memotong kumis dan memanjangkan jenggot –atau membiarkannya tumbuh
apa adanya– merupakan amalan yang dilakukan untuk menyelisihi
orang-orang musyrikin dan Majusi (para penyembah api). Karena kebiasaan
mereka adalah membiarkan kumis tumbuh hingga menutupi bibir, sementara
jenggot mereka cukur. Perintah menyelisihi mereka ini dinyatakan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
خَالِفُوا الْمُشْرِكِيْنَ،
أَحْفُوا الشَّوَارِبَ
وَأَوْفُوا اللِّحَى
“Selisihilah orang-orang musyrikin, potonglah kumis dan biarkanlah
jenggot (sebagaimana adanya tanpa dikurangi dan dipotong).” (HR. Muslim
no. 600)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
جُزُّو الشَّوَارِبَ
وَأَرْخُوا اللِّحَى،
خَالِفُوا الْمَجُوْسَ
“ Potonglah kumis dan biarkanlah jenggot (sebagaimana adanya tanpa
dikurangi dan dipotong), selisihilah orang-orang Majusi. ” (HR. Muslim
no. 602)
Dengan demikian dalam masalah memotong kumis dan memanjangkan jenggot ini, ada dua tujuan:
1. Menyelisihi kebiasaan orang ‘ajam (non Arab), dalam hal ini orang-orang Majusi/Persia ataupun musyrikin.
2. Menjaga kebersihan daerah bibir dan sekitarnya yang merupakan
tempat masuknya makanan dan minuman. Al-Imam Ath-Thahawi rahimahullahu
menyatakan, “Memotong kumis dilakukan dengan mengambil/memotong kumis
yang panjangnya melebihi bibir, sehingga tidak mengganggu ketika makan
dan tidak terkumpul kotoran di dalamnya.”
Batasan kumis yang dipotong adalah dipotong sampai tampak ujung
bibir, bukan menipiskan dari akarnya. Sementara hadits yang menyebutkan:
حْفُوا
الشَّوَارِبَ
(“Potonglah kumis…”) yang dimaukan adalah memotong bagian kumis yang panjang hingga tidak menutupi kedua bibir.
Memang dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Mayoritas ulama
Salaf berpendapat kumis itu dicukur sampai habis sama sekali, berdalil
dengan dzahir hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَحْفُوا وَانْهَكُوا
“ Potonglah kumis dan habiskanlah.” (HR. Al-Bukhari no. 5893)
Ini merupakan pendapat orang-orang Kufah. Namun kebanyakan mereka
berpendapat dilarang mencukur kumis dan menghabiskannya sama sekali,
demikian pendapat yang kedua. Pendapat yang kedua ini dipegangi Al-Imam
Malik rahimahullahu. Bahkan beliau memandang mencukur kumis sampai habis
adalah perbuatan mencincang dan beliau memerintahkan agar pelakunya
diberi ganjaran sebagai pelajaran. Dengan demikian, menurut pendapat
yang kedua ini kumis tidak dihabiskan sama sekali tapi diambil/dipotong
sesuai dengan kadarnya yang dengannya akan tampak ujung bibir (tidak
tertutup kumis).
Sebagian ulama, seperti Ath-Thabari, punya pendapat lain. Beliau
menganggap kedua-duanya boleh, sehingga seseorang boleh memilih apakah
ia ingin mencukur habis kumisnya atau membiarkannya namun tidak sampai
menutupi bibir (dipotong bagian yang berlebihan). Beliau berkata,
“As-Sunnah menunjukkan bahwa kedua perkara tersebut dibolehkan dan tidak
saling bertentangan. Karena lafadz (1) القَصُّ menunjukkan
mengambil sebagian, sedangkan lafadz (2) اْلإِحْفَاء menunjukkan
mengambil seluruhnya. Berarti keduanya tsabit (ada perintah/tuntunannya)
sehingga seseorang diberi pilihan untuk melakukan apa yang
diinginkannya.”
Ibnu ‘Abdil Bar rahimahullahu berkata, “اْلإِخْفَاءُ bisa
dimungkinkan maknanya mengambil keseluruhan. Namun القَصُّ mufassar
yakni menerangkan/menjelaskan apa yang dimaukan. Dan apa yang
menerangkan/menjelaskan lebih dikedepankan dari yang global. ” (3)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
fadhlihsan.wordpress.com/2010/02/05
Tidak ada komentar:
Posting Komentar