Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata pada Bab Larangan-Larangan Dalam Masjid:
Tidak halal keluar dari masjid setelah adzan. “Ada seorang lelaki
yang pernah keluar dari masjid setelah adzan ashar dikumandangkan, maka
Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata, “Adapun orang ini, maka sungguh
dia telah bermaksiat kepada Abu Al-Qasim shallallahu alaihi wa alihi
wasallam.”
Hadits ini berasal dari riwayat Abu Hurairah radhiallahu anhu sendiri. Dan hadits ini mempunyai dua jalan darinya:
Pertama: Dari Abu Asy-Sya’tsa` dia berkata …, lalu dia menyebutkan hadits di atas.
Diriwayatkan oleh Muslim (2/124), Abu Daud (1/89), An-Nasai (1/111),
At-Tirmizi (1/397), Ad-Darimi (1/274), Ibnu Majah (1/248), dan Ahmad
(2/410, 416, 471, 506) dari jalan Ibrahim bin Al-Muhajir, Asy’ats bin
Abi Asy-Sya’tsa` dan Al-Muharibi dari Abu Asy-Sya’tsa`. At-Tirmizi
berkata -dan ini adalah lafazhnya-, “Hadits hasan shahih.”
Lafazh tambahan dalam hadits di atas terdapat dalam riwayat At-Tirmizi, Abu Daud, dan salah satu riwayat Ahmad.
Kemudian, Ahmad juga meriwayatkannya (2/537) dari jalan Syarik dari
Asy’ats dengan sanad di atas tapi dengan lafazh tambahan, “Kemudian Abu
Hurairah berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan
kami, “Jika kalian berada di dalam masjid sementara adzan
dikumandangkan, maka jangan salah seorang di antara kalian keluar sampai
dia mengerjakan shalat.”
Al-Mundziri berkata (1/115), “Diriwayatkan oleh Ahmad dan sanadnya shahih.”
Al-Haitsami berkata (1/5), “Semua perawinya adalah perawi kitab Ash-Shahih.”
Saya berkata: Hadits ini dengan lafazh tambahan ini tidaklah shahih,
karena Syarik bersendiri dalam menambahkan lafazh ini dan dia bukanlah
perawi yang kuat ketika dia bersendirian, sebagaimana yang dikatakan
oleh Ad-Daraquthni. Dalam At-Taqrib disebutkan, “Jujur tapi sering salah
hafal.”
Ditambah lagi, dia bukanlah perawi yang riwayatnya dijadikan dalil utama
oleh Al-Bukhari dan tidak pula Muslim. Muslim hanya meriwayatkan
haditsnya sebagai pendukung, sebagaimana yang ditegaskan oleh
Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan. Karenanya, ucapan Al-Haitsami bahwa semua
perawinya adalah perawi kitab Ash-Shahih tidaklah benar. Karena
ucapannya ini mengesankan bahwa riwayat setiap perawi di dalamnya telah
dijadikan dalil utama di dalam kitab Ash-Shahih, padahal tidak demikian
kenyataannya. Walaupun sebenarnya juga hadits yang marfu’ dari jalan
lain dari Abu Hurairah sebagaimana yang akan disebutkan. Hanya saja saya
pribadi belum mendapatkan sanadnya sehingga belum bisa dihukumi apakah
haditsnya bisa digunakan sebagai pendukung atau tidak. Akan tetapi
lahiriah ucapan Al-Mundziri dan Al-Haitsami menunjukkan bahwa riwayat
itu kuat, sebagaimana yang akan kamu lihat nanti.
Kedua: Dari Abu Saleh dari Abu Hurairah bahwasanya dia melihat
seorang lelaki …, sampai akhir hadits tanpa ada lafazh tambahan di atas.
Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Ash-Shaghir (hal. 168) dia berkata:
Muhammad bin Al-Madini -Fastaqah- Al-Baghdadi menceritakan kepada kami
dia berkata: Suraij bin Yunus menceritakan kepada kami dia berkata: Abu
Hafsh Al-Abaar menceritakan kepada kami dari Muhammad bin Hajadah dari
Abu Saleh. Ath-Thabrani berkata, “Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini
dari Muhammad bin Hajadah kecuali Abu Hafsh Al-Abaar.”
Saya berkata: Abu Hafsh ini adalah perawi yang tsiqah lagi hafizh, dan
namanya adalah Umar bin Abdirrahman. Sementara perawi lainnya dalam
sanad adalah tsiqah dan merupakan perawi Al-Bukhari dan Muslim kecuali
Fastaqah ini. Fastaqah adalah gelarnya, sementara namanya adalah
Muhammad bin Ali bin Al-Fadhl Abu Al-Abbas. Dia adalah perawi yang
tsiqah, wafat pada tahun 289 H, sebagaimana yang disebutkan dalam Tarikh
Baghdad (3/64). Karenanya, sanadnya shahih.
Asy-Syaukani mengkritisi hadits ini dengan mengatakan (2/138), “Di dalam
sanadnya terdapat Ibrahim bin Al-Muhajir, ada yang menyatakannya
sebagai perawi tsiqah dan ada juga yang menyatakannya sebagai perawi
yang dha’if.”
Kelihatannya Asy-Syaukani tidak mengetahui kalau Ibrahim telah didukung
oleh Asy’ats bin Abi Asy-Sya’tsa`, dan dia adalah perawi yang tsiqah.
Kemudian, lahiriah hadits Abu Hurairah di atas adalah mauquf, akan
tetapi hukumnya adalah hadits marfu’ menurut mayoritas ulama.
Al-Mundziri berkata dalam Mukhtashar Sunan Abi Daud (1/287-288 no. 503),
“Sebagian ulama ada yang mengatakan kalau hadits ini mauquf. Abu Umar
An-Namari bahwa hadits ini musnad (baca: marfu’) menurut mereka. Dan Abu
Umar berkata, “Mereka tidak berbeda pendapat bahwa hadits ini dan
hadits itu keduanya adalah musnad lagi marfu’.” Maksudnya: Ucapan Abu
Hurairah dalam hadits ini dengan ucapan Abu Hurairah dalam hadits,
“Barangsiapa yang tidak menghadiri -yakni: undangan- maka sungguh dia
telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Al-Hafizh berkata (2/96), “Ath-Thabrani meriwayatkan hadits ini dalam
Al-Ausath dari jalan Said bin Al-Musayyab dari Abu Hurairah radhiallahu
anhu, dimana Abu Hurairah menegaskan bahwa hadits ini diucapkan oleh
Nabi shallallahu alaihi wasallam dan dengan konteks pengkhususan (pada
masjid Nabawi, pent.). Lafazhnya adalah, “Tidak ada seorangpun yang
mendengarkan adzan di masjidku kemudian dia keluar darinya -kecuali jika
ada keperluan- kemudian tidak kembali lagi kecuali seorang munafik.”
Saya berkata: Al-Mundziri berkata dalam At-Targhib, “Diriwayatkan oleh
Ath-Thabrani dalam Al-Ausath dan semua perawinya dijadikan hujjah dalam
kitab Ash-Shahih.” Dan senada dengannya dikatakan oleh Al-Haitsami dalam
Al-Majma’.
Saya berkata: Hadits ini mempunyai pendukung dari hadits Utsman bin
Affan secara marfu’ dengan lafazh, “Siapa yang mendengar adzan sementara
dia berada di dalam masjid kemudian dia keluar darinya -dan dia tidak
keluar karena ada keperluan- dan tidak akan kembali lagi maka dia
seorang munafik.”
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1/249) dari Abdul Jabbar bin Umar dari
[Ibnu] Abi Farwah dari Muhammad bin Yusuf maula Utsman bin Affan dari
ayahnya dari Utsman.
Dalam Az-Zawaid disebutkan, “Sanadnya dha’if karena di dalam sanadnya
terdapat Ibnu Abi Farwah yang bernama Ishaq bin Abdillah. Para ulama
menghukuminya sebagai perawi yang dha’if, dan demikian halnya keadaan
Abdul Jabbar bin Umar.”
Hadits ini mempunyai pendukung lain berupa hadits mursal. Diriwayatkan
oleh Ad-Darimi (1/118) dari jalan Abdurrahman bin Harmalah dia berkata,
“Ada seorang lelaki yang mendatangi Said bin Al-Musayyab untuk
mengucapkan selamat tinggak ketika Said akan berangkat haji atau umrah.
Maka Said berkata kepadanya, “Jangan kamu keluar masjid sampai kamu
shalat. Karena sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda, “Tidak ada yang keluar dari masjid setelah adzan kecuali
seorang munafik, kecuali jika seseorang keluar karena adanya keperluan
dan dia berniat akan kembali lagi ke masjid tersebut.” Lelaki tersebut
lalu berkata, “Teman-temanku berada di Hurrah,” maka lelaki itu pun
keluar (masjid setelah adzan, pent.). Maka senantias Said menyebutkan
tentang lelaki itu sampai dikabarkan kepadanya bahwa lelaki itu terjatuh
dari hewan tunggangannya hingga pahanya patah.”
Ini adalah sanad yang hasan, semua perawinya adalah perawi Muslim. Hanya
saja Muslim hanya meriwayatkan hadits Abdurrahman sebagai pendukung,
sebagaimana dalam Tahdzib At-Tahdzib. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak
(1/213) mengira bahwa Muslim meriwayatkan haditsnya sebagai hadits
pokok, sementara pada tempat yang lain (1/210) dia sendiri menyebutkan
bahwa Abdurrahman ini termasuk dari perawi Al-Bukhari. Maka ini termasuk
dari kekeliruannya yang juga disetujui oleh Adz-Dzahabi.
Hadits mursal ini diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf dari
jalan ini, sebagaimana dalam Nashbu Ar-Rayah (2/155). Dan Al-Mundziri
menisbatkan periwayatannya kepada Abu Daud dalam Al-Marasil, dan hadits
ini terdapat dalam Mukhtashar Sunan Abi Daud (no. 6).
Asy-Syaukani berkata, “Kedua hadits ini menunjukkan haramnya keluar
dari masjid setelah mendengarkan adzan sampai dia mengerjakan shalat
waktu itu di masjid tersebut. Kecuali kalau tujuannya keluar adalan
untuk berwudhu, atau buang air, atau keperluan lain yang memang
dibutuhkan. Karena masjid itu sudah harus dipakai untuk mengerjakan
shalat saat itu. At-Tirmizi berkata setelah menyebutkan hadits ini,
“Inilah yang diamalkan oleh para ulama dari kalangan sahabat Nabi
shallallahu alaihi wasallam dan sepeninggal mereka, yaitu: Tidak boleh
ada seorang pun yang keluar dari masjid [setelah adzan] kecuali karena
ada udzur, misalnya: Dia belum berwudhu atau untuk mengerjakan sesuatu
yang penting. Diriwayatkan dari Ibrahim An-Nakhai bahwa dia berkata,
“Dia boleh keluar selama muadzdzin belum mengumandangkan iqamah.” Ucapan
Ibrahim ini menurut kami hanya berlaku bagi orang yang mempunyai udzur
untuk keluar dari masjid.” Selesai
Ibnu Raslan berkata dalam Syarh As-Sunan, “Keluar dari masjid (setelah
adzan, pent.) adalah makruh menurut seluruh ulama jika keluarnya bukan
karena udzur untuk bersuci atau yang semacamnya. Jika memang ada udzur
maka boleh keluar dan tidak makruh.” Al-Qurthubi berkata, “Ini diarahkan
kepada makna bahwa hadits ini adalah hadits yang marfu’ kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan dalil penisbatan Abu
Hurairah kepada beliau. Seakan-akan Abu Hurairah pernah mendengar sabda
Nabi yang menunjukkan haramnya keluar dari masjid setelah adzan.
Karenanya dia menggunakan lafazh maksiat untuk menghukumi amalan
tersebut.”
Saya berkata: Karenanya, hadits ini merupakan dalil akan haramnya amalan
tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh Asy-Syaukani dan Ibnu Hazm
(3/147) sebelumnya. Ibnu Hazm berkata, “Siapa yang berada di dalam
masjid lalu adzan dikumandangkan maka tidak halal baginya untuk keluar
masjid, kecuali jika dia belum berwudhu atau ada keperluan dia harus
keluar.”
Sementara pendapat yang hanya memakruhkan amalan ini bertentangan dengan lahiriah hadits.
Hukum haram ini berlaku jika tidak ada udzur. Adapun jika ada udzur
maka dia boleh keluar masjid sebagaimana yang akan akan disebutkan pada
pembahasan: Hal-Hal yang Dibolehkan.
[Diterjemah dari kitab Tsamar Al-Mustathab jidil 2]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar