”Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanykan dari prasangka, sesungguhnya
sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan
orang lain (tajassus)..” [al-Hujurat:12].
Sebagian mufassirin, seperti Abu Raja’, dan al-Hasan, membacanya dengan “tahassasuu”
[dengan ha’ bukan dengan jim]. Al-Akhfasy menyatakan, bahwa makna keduanya [tajassasuu dan
tahassasuu] tidaklah berbeda jauh, sebab, tahassasuu
bermakna al-bahtsu ‘ammaa yaktumu ‘anka [membahas/meneliti apa-apa yang
tersembunyi bagi kamu]. Ada pula yang
mengartikan, bahwa tahassasuu, adalah apa
yang bisa dijangkau oleh sebagian indera manusia. Sedangkan tajassasuu adalah memata-matai sesuatu. Ada pula yang menyatakan, kalau, tajassasuu itu adalah aktivitas
mata-mata yang dilakukan oleh orang lain, atau dengan utusan, sedangkan tahassasuu, aktivitas mata-mata yang
dilakukan oleh dirinya sendiri.[2] Imam
Qurthubiy, mengartikan
firman Allah, di atas dengan, “Ambilah
hal-hal yang nampak, dan janganlah kalian membuka aurat kaum muslimin, yakni,
janganlah seorang diantara kalian meneliti aurat saudaranya, sehingga ia
mengetahui auratnya, setelah Allah swt menutupnya [auratnya].”
Dalam sunnah, Nabi saw bersabda, “..Janganlah kalian saling memata-matai, janganlah kalian saling
menyelidik, janganlah kalian saling berlebih-lebihan, janganlah kalian saling
berbuat kerusakan….”[Hr.
Ibnu Majah dari Abu Hurairah, lihat hadits-hadits senada dalam Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, surat
49:12, semisal riwayat Imam Malik dari Abu Hurairah].
Nabi saw bersabda, artinya, “Sungguh, seorang amir (pemimpin) akan mendurhakai rakyatnya, bila ia
memburu kecurigaan pada mereka”. [HR. Abu Dawud dari Abu Umamah]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Dirahmatilah kiranya orang yang begitu sibuk dengan kesalahan dirinya
sendiri, sehingga ia tidak peduli dengan kesalahan orang lain.” [HR. al-Bazaar, dari Anas]
Islam juga sangat mencela seseorang yang suka ikut campur urusan orang
lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan dia.
Rasulullah saw bersabda, artinya,“Diantara
hal yang menyempurnakan keislaman seseorang adalah ia meninggalkan
masalah-masalah yang tak memiliki sangkut paut dengan dirinya.” [HR.Tirmidziy dalam shahih
al-Tirmidziy].
Rasulullah saw juga bersabda, “Jika seseorang melihatmu dalam keadaan tanpa pakaian, tanpa ijinmu,
lalu kamu membutakan kedua matanya dengan lemparan batu, tidak ada celaan atas
perbuatanmu itu.” [HR.
Muslim dari Abu Hurairah].
Ibnu
‘Abbas ra meriwayatkan dari
Rasulullah saw, artinya, “Orang yang
menyadap pembicaraan orang lain dan mendengarkan apa yang mereka tidak akan
suka bila tahu ia telah mendengarnya, kedua telinganya akan dituangi dengan
cairan kuningan nanti pada hari Kiamat.” [HR.Thabaraniy dalam Mu’jam al-Kabir].
Rasulullah saw bersabda, artinya,“Orang yang biasa mencuri-curi dengar tidak akan masuk surga.” [HR.
Bukhariy dari Hudzaifah, Imam Muslim,
Abu Dawud, Ahmad, dan Daruqutniy]
Hadits-hadits di atas merupakan larangan yang tegas
terhadap aktivitas-aktivitas mengintip, menyadap pembicaraan orang lain, dan
mengorek-ngorek berita, menguping pembicaraa orang lain. Padahal, aktivitas-aktivitas ini merupakan
bagian terpenting dari aktivitas spionase, yang sudah jelas keharamannya. Oleh karena itu tidak ragu lagi, bahwa
aktivitas memata-matai seorang muslim hukumnya adalah haram secara mutlak.
Islam juga menolak bukti
yang diperoleh dengan jalan spionase, tidak seperti tradisi hukum barat. Orang-orang kafir barat biasa menggunakan
detektif atau mata-mata untuk mencari-cari bukti kriminal dengan jalan menyadap
telepon, dan dengan berbagai metode spionase yang menyimpang [electronic surveillance].
Dalam tradisi hukum Islam, bukti
yang didapat dari jalan spionase tidak boleh dijadikan bukti di sidang
pengadilan. Dalilnya adalah riwayat dari al-A’masy
bin Zaid, ia menceritakan
bahwa al-Walid bin ‘Uqbah dihadapkan kepada Ibnu Mas’ud dan dituduh ketahuan terdapat tetesan khamr di jenggotnya. Ibnu Mas’ud berkata, “Kita dilarang memata-matai,
tetapi bila terdapat bukti yang tampak, kita akan menggunakannya.”[3]
Adapun terhadap kafir dzimmiy yang menjadi warga negara di Daulah
Khilafah, maka kedudukan mereka setara dengan kaum muslimin, sehingga seorang
muslim dilarang [diharamkan] memata-matai mereka[4]. Adapun memata-matai kafir harbiy [kafir yang harus diperangi], baik kafir
harbiy haqiqiy, maupun hukman, hukumnya adalah jaiz (boleh) bagi seorang
muslim, atau sekelompok kaum muslimin, namun wajib bagi negara [Daulah
Khilafah], baik kafir harbiy yang berada di dalam Daulah Khilafah Islamiyyah,
maupun yang berada di negaranya sendiri.
Dalilnya adalah riwayat yang
disebut dalam Sirah Ibnu
Hisyam, bahwa Nabi saw pernah mengutus ‘Abdullah bin Jahsiy bersama 8 orang dari kalangan Muhajirin. Kemudian Rasulullah saw memberikan sebuah
surat kepada ‘Abdullah bin Jahsiy, dan
beliau saw menyuruhnya agar tidak melihat isinya. Ia boleh membuka surat itu setelah berjalan
kira-kira 2 hari lamanya. Selanjutnya
mereka bergegas pergi. Setelah menempuh
perjalanan selama dua hari, barulah ‘Abdullah bin Jahsiy membuka surat, dan
membaca isinya. Isinya adalah, “Jika engkau
telah melihat suratku ini, berjalanlah terus hingga sampai kebun korma antara
Mekah dan Tha’if, maka intailah orang-orang Quraisy, dan khabarkanlah kepada
kami berita tentang mereka (orang Quraisy).”
Dalam surat itu, Rasulullah saw memerintah
‘Abdullah bin Jahsiy untuk memata-matai orang Quraisy, dan mengabarkan berita
tentang mereka kepada Rasul. Akan
tetapi, beliau saw memberikan pilihan kepada para shahabat lainnya untuk
mengikuti ‘Abdullah bin Jahsiy, atau tidak.
Akan tetapi, Rasulullah saw mengharuskan ‘Abdullah bin Jahsiy untuk
terus berjalan hingga sampai ke kebun kurma antara Mekah dan Tha’if, dan
memata-matai orang Quraisy. Riwayat ini
menyatakan bahwa Rasulullah saw, telah meminta shahabat untuk melakukan
aktivitas spionase, yakni wajib bagi ‘Abdullah bin Jahsiy, namun shahabat yang
lain diberi dua pilihan, ikut bersama ‘Abdullah bin Jahsiy atau tidak. Dengan demikian,
tuntutan untuk melakukan spionase bagi amir jama’ah, yakni ‘Abdullah bin Jahsiy [dinisbahkan kepada negara]
adalah pasti, sehingga hukumnya wajib, sedangkan bagi kaum muslimin tuntutan
tidak pasti, sehingga hukumnya jaiz
(boleh). Hadits ini menunjukkan kepada
kita, bahwa hukum memata-matai kafir harbiy adalah wajib bagi negara, sedangkan
bagi kaum muslimin adalah jaiz.
Ada sebagian orang berpendapat bahwa spionase yang dilakukan oleh
badan-badan intelejen negara adalah boleh. Sebab, spionase yang dilakukan oleh
negara akan membawa kemashlahatan bagi negara.
Pendapat semacam ini tidak disandarkan kepada dalil syara’. Mereka hanya bertumpu kepada mashlahat untuk
membangun pendapatnya; misalnya spionase untuk memonitoring aktivitas rakyat
yang berpotensi melakukan makar terhadap negara, menggali keadaan rakyatnya
lebih dalam lagi, dan lain-lain. Namun perlu diingat, bahwa mashlahat tidak
berarti sama sekali untuk membangun hukum syara’. Seorang muslim diwajibkan untuk hanya
bertahkim (berhukum) dengan apa-apa yang diturunkan oleh Allah swt, bukan
bertahkim dengan mashlahat yang bersifat temporal dan berubah-ubah. Allah swt berfirman, artinya,
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka
menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu…”[al-Maidah”48]
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang yang dzalim.” [al-Maidah:45]
Ayat ini dengan tegas menyatakan
bahwa dasar untuk membangun hukum syara’ adalah al-Quran dan Sunnah, bukan
mashlahat. Bahkan, mashlahat hakiki baru
akan tercapai bila kaum muslimin menerapkan hukum syara’. Allah swt berfirman, artinya, “Dan tiadalah
kamu [Mohammad], kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.”
[al-Anbiyaa’:107].
“Dan Kami telah menurunkan kepada kamu [Mohammad} al-Kitab,
untuk menjelaskan segala sesuatu”.[al-Nahl:89].
Kedua ayat ini, bila dipahami
akan menunjukkan dengan sharih (jelas), bahwa
Rasulullah saw diutus --dengan membawa al-Quran—untuk menjadi rahmat
[membawa kemashlahatan] bagi seluruh manusia.
Sehingga mashlahat hakiki hanya akan tercapai bila diterapkan
aturan-aturan yang dibawa oleh Rasulullah saw di muka bumi ini.
Selain itu, surat al-Hujurat:12,
dengan jelas dan tegas menunjukkan keharaman melakukan aktivitas tajassus
(spionase). Sebab dalam ayat tersebut
disebutkan, “wa laa tajassasuu” [dan janganlah kamu mencari-cari
kesalahan orang lain (tajassus)..”].
Ayat ini berlaku umum untuk semua tajassus, kecuali ada dalil syara’
yang mengkhususkan. Sedangkan mashlahat tidak bernilai sama sekali untuk
mentakhshish (mengkhususkan) atau apapun namanya terhadap keumuman ayat
ini. Walhasil, pendapat yang menyatakan
bahwa aktivitas spionase yang dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya
dibolehkan dengan alasan mashlahat, merupakan pendapat yang bathil dan telah
terbukti kelemahannya. Oleh karena itu,
aktivitas spionase yang dilakukan oleh negara kepada rakyatnya, adalah
perbuatan yang diharamkan oleh syara secara mutlak.
Sedangkan bolehnya seorang
muslim, atau kafir dzimmiy, memata-matai kafir harbiy hakiki, maupun kafir
harbiy hukman, merupakan pengkhususan dari keumuman pengertian suara Hujurat
ayat 12 tersebut. Sebab ada dalil yang
menunjukkannya, yakni sunnah Rasul.
[1] Ibid, hal. 212
[2] lihat Tafsir Qurthubiy, surat
49:12.
[3] HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud; lihat pula, Abu
Ameenah Bilal Philips, Tafseer Soorah Al Hujurat; Menolak Tafsir Bid’ah [Elyasa’ Bahalwan (pentj)], 1990, Andalus
Press, Surabaya; hal.150-151.
[4] Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz II, ed.III, 1994,Daar al-Ummah, Beirut, Libanon, hal. 212.
http://muhakbarilyas.blogspot.com/2013/01/hukum-tajassus-spionase.html?m=0
Tidak ada komentar:
Posting Komentar